(Long) Mudik Journey
“Naik kapal? Berapa lama perjalanannya?
Kenapa tidak naik pesawat yang lebih cepat dan murah?” Entah berapa kali
saya harus menjawab pertanyaan ini setiap kali saya mengatakan akan mudik tahun
ini menggunakan kapal (laut). Memang tidak seperti biasanya, di tahun ini saya
mencoba pulang kampung (dan alhamdulillah saya masih punya kampung halaman)
menggunakan kapal laut yang durasi nya memang lebih lama dari transportasi
lainnya. Harganya juga sedikit lebih mahal, tapi percayalah pengalaman yang akan
didapatkan selama berlayar sulit dihitung dengan uang. Priceless.
Tiba
di Stasiun Gubeng Surabaya, saya tidak terlalu bingung menuju tempat yang
diberikan teman saya. Disini angkotnya cukup banyak dan punya angka yang
menandakan trayek yang dilaluinya. Dan harga yang dipatok pun sama, jauh-dekat
cukup bayar lima ribu rupiah. Taman-taman kota disini punya tanaman dan
bunga-bunga yang terawat dengan baik.
Surabaya dikenal juga dengan kota Pahlawan, tak heran banyak monumen dan
bangunan-bangunan bersejarah di setiap sudut kota. Saya juga sempat mengunjungi
House of Sampoerna, museum rokok salah satu brand rokok ternama di negeri ini.
Disana terpampang benda benda dan bahan-bahan yang dulu dipakai untuk
memproduksi rokok. Ternyata cengkeh yang berasal dari Toli-Toli, Sulteng
merupakan salah satu cengkeh yang berkualitas yang sering digunakan sebagai
bahan baku rokok. Disini juga ada cafe dengan suasana cozy, cocok untuk anak
muda surabaya yang ingin beromance ria. Ada juga Jembatan Merah Plaza salah
satu dari sekian banyak Mall yang didalamnya ada berbagai macam kain dan
tekstil dengan harga Murah. Rasanya tak akan cukup mengelilingi kota ini hanya
dalam waktu sehari. Untungnya ada teman yang berkuliah di salah satu kampus
negeri disini, jadi bisa keliling singkat sehari biaya dengan tidak terlalu
mahal. Hehe
Hanya
saja saya belum berkesempatan melintasi jembatan Suramadu yang menghubungkan
Surabaya dengan Pulau Madura. Katanya jembatan terpanjang di Indonesia sampai saat ini, karena pembangunan Jembatan Selat Sunda belum selesai juga. Tapi paling tidak saya bisa
menyaksikan langsung jembatan itu dari atas kapal KM Dorolonda yang bersandar
di Pelabuhan Tg. Perak. Saat mulai berlayar, jembatan ini terlihat cukup bagus
–meski tak sebagus jembatan ponulele alias jembatan 4 di palu :D –dan saat itu
lampu-lampu di sekitarnya belum dinyalakan karena hari masih sore.
Perjalanan
dari pelabuhan Tg. Perak di Surabaya menuju Pantoloan di Palu memakan waktu
kurang lebih 42 jam perjalanan atau 3 hari dua malam. Berangkat jam 3 sore WIB hari
Jum’at dan tiba hari minggu jam 9 Pagi WITA. Ya, cukup memakan waktu juga.
Persiapan fisik, mental dan keuangan harus baik. Didaam kapal ini ada banyak
penumpang dari berbagai daerah di timur Indonesia : Balikpapan, Pantoloan,
Toli-toli, Amurang, Bitung, Ternate dst. Didalam kapal ada cukup fasilitas yang
bisa dimafaatkan. Kamar mandi disetiap dek, pantry jika ingin mengambil air
panas untuk menyeduh kopi/popmie, dek 7 belakang untuk menikmati
sunset/sunrise, musholla yang bersih dan satu colokan listrik dekat tempat
tidur. Hanya saja kapal ini masih belum begitu bersih tapi sudah cukup layak
untuk moda transportasi ekonomi seperti ini. Manajemen makanan bagi penumpang juga
sudah baik, karena bulan ramadhan, pihak pelni menyediakan makanan untuk santap
sahur dan berbuka. Antrian cukup panjang juga akan sering kita temui di pantry.
Ada satu rule yang harus selalu diingat dalam kapal: selalu menjaga barang
bawaan jangan sekalipun meninggalkannya apalagi menitipkan pada orang yang
belum kita kenal.
Di hari
pertama diatas kapal, kebetulan juga berbarengan dengan hari spesial di bulan
ini. Sambil membalas ucapan selamat ulang tahun dengan sinyal yang timbul
tenggelam, saya bersama beberapa penumpang lain menikmati suguhan atraksi
matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. Langit yang memerah dengan matahari
yang tinggal setengah menjadi teman saya sembari menunggu waktu berbuka.
Warbiyaza. Ucapan and good wishes dari
mereka yang mewarnai hidup sampai saat ini menjadi pelengkap. Semoga
harapan-harapan baik itu bisa menambah energi positif bagiku untuk melanjutkan
kehidupan. #Tsah
Tiba di Pantoloan, hawa panas khas kota ini mulai terasa saat menginjakkan kaki pertama kali. Bahasa bugis dan kaili mulai terdengar dimana-mana. Sudah banyak yang berubah. Perubahan-perubahan pembangunan mulai mengubah wajah kota ini. Tidak mengherankan memang, karena satu-satunya yang pasti didunia ini adalah perubahan itu sendiri. Insya Allah saya akan membahas lebih jauh tentang perubahan kampung halaman di tulisan lain.
Tak
lupa, selamat Idul Fitri 1436 H, Minal aidzin wal faidzin mohon maaf lahir
Bathin.
Komentar
Posting Komentar