Gunung Guntur dan Tenda Rasa Sauna
Lagi, ini
cerita tentang alam, memanfaatkan waktu selagi santai di saat menuju semester
akhir, semester yang kata orang cukup mengerikan. Ini tentang perjalanan menuju
gunung guntur, dengan puncak ketinggian 2249 mdpl, gunung botak yang treknya
tidak semudah yang terlihat dari bawah, gunung yang juga sempat terbakar disaat
musim kemarau beberapa waktu lalu.
Dangdeur ke Desa Pasawahan
Jarum jam
menunjukkan pukul 11 saat kami berdiri di depan pasar Dangdeur ditengah
panasnya terik matahari siang itu. Menunggu bis yang akan mengantarkan kami menuju
Garut, tepatnya di desa Pasawahan, kecamatan Tarogong, starting point menuju puncak guntur yang kami
tuju. Kurang lebih 1 jam perjalanan, kami turun tepat di depan gerbang desa Pasawahan. Dari gerbang desa, kami harus berjalan kaki kurang
lebih 20 menit untuk sampai di pos 1 –yang juga digunakan sebagai pos
pendaftaran awal. Dari sini gunung guntur yang botak –hampir botak lebih
tepatnya –mulai terlihat lebih dekat. Gunung ini sebenarnya memang mudah terlihat
dari kejauhan apabila kita melintasi kota Garut.
Setelah
melakukan pendaftaran, kami bergerak cepat menuju pos selanjutnya, tak sabar
mencapai puncak guntur yang menggemaskan. Belum lama berjalan, kami langsung disambut
truk-truk yang lalu lalang. Tampak aktivitas penambangan pasir dengan beberapa
bagian gunung yang dikeruk, yang melihatnya saja sudah bikin hati gundah. Sedih
ketika melihat alam terus di eksploitasi untuk kepentingan segelintir orang.
Beberapa
petak sawah masih terlihat dari kejauhan, sementara jalan sudah mulai menanjak.
Trek menuju pos 2 ini cenderung mudah dan masih bisa ditemui beberapa ‘bonus’
alias jalan landai. Sampai di pos 2, kami beristirahat sebentar, meneguk air
dan membeli beberapa bala-bala yang
dijual di warung sederhana yang berdiri disini. Disekitar warung ada tempat
beristirahat yang nyaman sekali. Tempat-tempat duduk dan pondok- pondok yang
semuanya terbuat dari kayu. Rindang dan tentram.
Perjalanan
dari pos ke pos cenderung tidak begitu berat, sampai kemudian kami melewati
curug (baca: air terjun) citiis, jalannya kemudian berubah menjadi terjal. Untungnya
jarak ke pos 3 juga tidak terlalu jauh. Sampai di pos 3 kami melapor lagi,
sebenarnya dari sini pemandangan nya sudah indah sekali, terlihat lampu-lampu
rumah warga dibawah sana mulai menyala saat kami tiba. Badan gunung guntur
tidak terlihat jelas karena gelap malam yang mulai datang. Di sekitar pos 3 ini
banyak tenda-tenda berdiri, dan ada pondok yang digunakan sebagai tempat laporan
pendaki dan juga tempat berjualan merchandise2 gunung guntur. Kalau kekurangan
air disini ada sungai yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pasokan air. Saran
saya bawalah air yang cukup dari sini, karena selanjutnya tidak ada sumber air
lagi, ditambah tanjakan menuju puncak 1 (atau puncak bayangan) akan sangat
menguras tenaga.
Tanjakan Edan (Summit Puncak Bayangan)
Setelah
beristirahat dan sholat, kami melanjutkan perjalanan ‘sesungguhnya’. Sekitar
pukul 8 malam kami mulai ‘menyetubuhi’ badan gunung guntur yang kemiringan nya
bisa mencapai 75 derajat. Sialnya, saat nanjak ke puncak ini adalah giliran
saya membawa carrier besar yang berisi
tenda dengan beban yang tidak biasa, beberapa kali saya harus meminta break karena benar-benar menguras tenaga
dan mental. Tanjakan tanpa ampun dengan trek pasir yang masih labil. Agak
berbahaya jika ada pendaki yang tidak dalam kondisi stabil. Saran saya lagi,
sebaiknya isi perut saat di pos 3 sebelum memulai nanjak ke puncak bayangan. Naik
1 langkah, turun 2 langkah itu benar-benar ada.
Beberapa kali terdengar teriakan
‘awas batu!’ dari atas berbarengan dengan suara gesekan kerikil-kerikil yang
berisik. Lampu lampu senter pendaki lain dari atas dan bawah menghiasi malam penuh perjuangan
itu. Dan alhamdulillah, kami tiba di puncak 1 dengan selamat, dengan pakaian
kami yang agak basah karena hujan yang mulai turun. Tapi belum sampai disitu,
malam itu juga kami harus mencapai puncak 2 dan berencana memasang tenda
disana. Di puncak 1 ini juga ada beberapa tenda yang berdiri. Tidak lama kami
menikmati jalan landai, kini harus berhadapan dengan tanjakan ke puncak 2 yang
lumayan berat, derajat kemiringan yang bertambah ditambah perut yang
lapar.
Puncak 2, Tenda Rasa Sauna
Tiba di puncak
2, hujan turun semakin deras. Beberapa dari kami segera memasang tenda dan
membuat minuman hangat. Uniknya di puncak 2 ini tidak perlu repot-repot membuat
api untuk merebus air, cukup gali tanah dan tanam botol yang berisi air, tidak
lama kemudian air hangat alami siap saji akan tersedia. Tanah yang panas ini
kami manfaatkan untuk tiduran menghangatkan tubuh. Sepertinya hawa panas ini
berasal dari dalam bumi, karena gunung ini memang masih aktif.
Mungkin
tidur di dalam tenda malam itu akan selalu saya ingat, ketika kami harus merasakan
perpaduan antara cuaca dingin dengan suhu panas tanah. Walaupun sudah dilapis
dengan matras, tidak mampu menahan rasa panas yang menyengat tubuh kami. Asap
panas menyelimuti sepanjang malam, wajah basah antara keringat bercampur dengan
air hujan. Malam itu kami benar2 menikmati sauna didalam tenda. Haha
Setelah
sauna express di tenda semalaman, paginya terbangun dengan peasaan takjub
melihat panorama dari atas sini. Saat itu matahari belum menampakkan diri,
tetapi awan dibawah kami perlahan mulai terlihat. Gumpalan-gumpalan awan yang
indah. Pemandangan ini mengingatkan saya dengan puncak cikurai, samudra
diatas awan yang mirip. Dari sini terlihat puncak gunung cikurai yang juga
sedang diselimuti awan, dan di sudut lain kawasan papandayan yang tak berhenti
menyemburkan asap. Setiap sudut puncak saat itu rasanya selalu pas untuk
diabadikan, semuanya instagramable moment.
Beberapa pendaki terlihat sibuk eksis didepan kamera sambil memegang kertas
berisi ucapan-ucapan. Tak terkecuali kami, haha. I’ve written my wish for Coopfest2 and especially for HER too :p
Puncak 2
bukanlah puncak tertinggi. Bisa dibilang belum mencapai ketinggian 2249 mdpl
kalau belum kepuncak 3. Menuju kesana tidak begitu jauh dari sini, dan treknya
juga cenderung mudah. Pemandangan puncak 3 sebenarnya tidak jauh berbeda dari
puncak 2, hanya saja biasanya memang view
dari puncak yang lebih tinggi lebih keren dan tentunya lebih dingin.
Di puncak 3 |
Setelah
makan siang dan puas berfoto ria, kami bergegas turun kembali. Momen turun dari
gunung guntur ini juga cukup memorable. Seperti biasa, perjalanan turun ini lebih
cepat, ditambah trek pasir yang dalam. Tanah yang menimbun kaki bisa sampai
dilutut, yang membuat kami hanya bisa berteriak-teriak jika tubuh terasa tak
bisa dikendalikan. Beberapa kali terjatuh karena bermain perosotan dan sosoan
gaya ice kating. Belum lagi saat kami turun, kabut yang menutupi pandangan sempat
hilang yang membuat pemandangan dibawah sangat jelas sekali terlihat. Indah
sekali!
Tak terasa
kami sudah sampai di pos satu lagi, dan meneruskan sampai di gerbang desa dengan
menumpang truk pasir. Siang itu kami menumpang bis lagi kembali ke jatinangor
membawa cerita baru. Sebuah perjalanan epic yang cukup menguras tenaga kali ini
berhasil membuat saya semakin cinta dengan Indonesia. Saatnya kembali ke
rutinitas dengan tanggung jawab yang lebih besar menanti: Skripsi.
Komentar
Posting Komentar