Life after Graduation
Saya teringat di suatu kelas saat masih awal-awal kuliah dulu.
Saat itu dikelas Ilmu Budaya Dasar, salah satu dosen favorit saya (Alm. Drs.
Deden Kusnadi), memberikan penjelasan dan contoh tentang materi culture shock, sebuah istilah untuk
seseorang yang merasakan perbedaan budaya di tempat tinggal barunya yang
membuat dirinya merasa butuh untuk beradaptasi. Ternyata culture shock terjadi tidak hanya sampai disitu. Saat kita mulai merasa
bisa menyesuaikan diri ditempat baru sekian lama, dan saat kita kembali lagi kerumah,
kita mulai merasa perlu menyesuaikan diri kembali. Inilah yang biasa disebut reverse culture shock. Apa itu?
Saya baru menyadari saat mudik di tahun 2013 lalu, dimana saya merasa banyak yang berubah di kampung halaman,
disitulah pertama kalinya saya merasakan yang namanya reverse
culture shock ini. Suatu perasaan saat kita kembali kerumah dan merasakan
rumah itu bukan rumah kita yang dulu lagi. Sampai sekarang pun setelah lulus di
tahun 2016 ini dan kembali kerumah, saya masih merasakan perasaan yang sama, bahkan lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Bukan hanya secara fisik kota ini berubah, tapi jiwa dan orang-orang didalamnya. Butuh waktu memang, untuk menyesuaikan diri kembali, ada beberapa
tips yang bisa dicoba untuk beradaptasi dengan keadaan seperti ini, misalnya
berkumpul dengan teman-teman yang like-minded, sering bersosialisasi, dan
menerima perubahan-perubahan yang sudah terjadi. Tapi tetap saja, terkadang ‘menerima
sesuatu’ itu, mudah diucapkan tapi termasuk sulit dilakukan :’)
Memasuki gerbang baru kehidupan sebagai seorang fresh graduate, yang ternyata tidak semudah yang dibayangkan –
saya mencoba apply ke beberapa posisi
HR di beberapa industri yang berbeda-beda. Rasionalnya, ya setidaknya saya
punya background HR dan punya sedikit pengalaman menangani HR di organisasi. Setelah
kirim sana-sini, akhirnya ada panggilan interview dari sebuah bank Jepang di
Jakarta, yang sayang sekali harus saya lepas karena waktunya yang tidak tepat
(saat itu masih di rumah). Dan benar saja, kerjaan itu soal jodoh dan rejeki, yang
penting sudah usaha yang terbaik. Rencana utama sebenarnya mau sekolah lagi, tapi
ya rencana hanya tinggal rencana. Haha
Di sela-sela apply pekerjaan, saya kedatangan seorang tamu dari
kota Toulouse, Perancis, yang sedang traveling ke Palu. Namanya Damien, doi
sudah traveling hampir seluruh negara di Asia Tenggara di umur dia yang belum
24 tahun. Saya ?? ……………………….............................. #lupakan.
Jadilah beberapa hari saya menjadi travel guide nya. Dengan bahasa
inggris yang terbatas, saya memperkenalkan pantai talise, bambarano, pasar masomba, kasimbar, bubur manado, sarabba, nasi kuning, burasa (kebetulan doi datang pas lagi
lebaran) dan hal-hal yang khas sulawesi lainnya. Beberapa kali ngobrol dengan
Damien membuka perspektif saya tentang sekolah. Banyak orang di eropa sana
termasuk prancis yang anak muda nya
lebih memilih tidak melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas (kecuali yang
memang ingin berkarir menjadi dosen/pengajar), dan memilih langsung bekerja dan
mengimplemetasikan skill yang sudah mereka dapat. Tidak hanya soal pendidikan,
diskusi kami juga bahkan sampai soal keyakinan agama, yang terkadang membuat
saya selalu berdebat panjang, dan selalu berakhir dengan ucapannya yang bernada
pasrah, “Well, I will learn more about your holy Qur’an”. :))
Sunset from Bambarano (again) |
Serunya lagi, saat kami di rumah mengalami musibah banjir karena tersumbatnya saluran air ( yang ditutup seenaknya oleh Manajemen Citra Land Palu), tanpa sungkan dia membantu membersihkan sisa-sisa lumpur dengan cekatan, dan terlihat sepintas kami seperti mempekerjakan pekerja kasar asing jauh-jauh dari Prancis. Haha
Kembali lagi ke soal sebelumnya
yaitu my life after graduation, setelah resmi menjalani kehidupan sebagai seorang
jobseeker. Menantang? Tentu. Sangat menantang dan setidaknya berhasil membuat
saya jauh lebih peka lagi, misalnya peka dalam melihat postingan lowongan
pekerjaan –haha—dan juga kadang harus tahan dan sabar menunggu, terutama saat
digantungin perusahaan yang diidamkan. Ternyata gini ya rasanya di PHP in.
Haha. Tapi harus tetap gigih mencari peluang baru. Menunggu itu bukan pasif,
tapi menunggu dengan proaktif, seperti sebuah pepatah, “The
preacher said that the most important discipline of life is waiting. Not
passively, but waiting with alertness, discernment, concentration and readiness”.
#LiveLife
Komentar
Posting Komentar