In A Language Mission
Sore itu langit
Jakarta cerah sekali. Beberapa hari terakhir cuaca di Jakarta sangat mendukung
untuk beraktivitas diluar. Di sore yang indah itu saya tiba di Stasiun Senen. Terlihat
berbagai macam orang hilir-mudik, ada yang datang, ada yang pergi, layaknya di
kehidupan. Rencananya sore ini saya akan menumpang sebuah kereta ekonomi
bernama Majapahit, jurusan Jakarta- Malang, yang akan mengantarkan saya ke sebuah
tempat untuk memulai perantauan baru: Pare, Kediri. Sudah beberapa hari ini,
I’m no longer become a person that work in a cool start-up in Daan Mogot.
Beberapa bulan bekerja di Jurnal memberikan banyak pengalaman berharga. I will
write separately, special for this experience in another post, insya Allah.
Sesuai jadwal, pukul
18:15 kereta mulai meninggalkan Ibukota, perlahan bergerak ke timur Pulau Jawa. Jika
tidak ada hambatan, saya akan tiba di stasiun Kediri pukul 07.00 besok pagi. Beberapa
jam kemudian kereta tiba di stasiun Cirebon Prujakan, Pekalongan, Semarang, Madiun.
Saya hanya sempat turun di Stasiun Cirebon dan Semarang, sisanya sepanjang
perjalanan saya habiskan dengan membaca, sisanya terlelap dalam mimpi –meskipun
sebenarnya agak sulit untuk tidur dengan posisi tempat duduk seperti di kereta
ekonomi pada umumnya. Pukul 06.40 sinar matahari menyusup masuk melalui
jendela, yang kemudian membangunkan saya. Terlihat hamparan sawah yang membentang sejauh
mata memandang. Momen yang mengingatkan saya akan perjalanan beberapa tahun
lalu ke kota Malang. Tidak lama
terdengar suara wanita dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa kereta
sebentar lagi tiba di Stasiun Kediri. Ada perasaan gembira bercampur cemas
mendengar pengumuman itu.
Keluar dari
Stasiun Kediri, banyak tukang becak dan beberapa calo menghampiri dan
menawarkan jasa tumpangan ke Pare. Saya dan dua orang teman yang baru saja
bertemu di Mushola Stasiun, memutuskan untuk sedikit berjalan kaki kedepan dan
memilih menggunakan angkot yang sudah dipesan sebelumnya. Pilihan ini tidak
lepas dari kebijakan pengetatan budget yang saya lakukan beberapa minggu terakhir sehubungan dengan berakhirnya masa menjadi karyawan. Dengan angkot, kami bisa menghemat 50% dibanding cost yang akan kami
keluarkan jika menumpang becak, travel, atau angkutan lainnya. Hehe
Pagi itu,
Kediri cukup sibuk. Terlihat dari aktivitas di jalanan yang mulai ramai dengan
kendaraan. Kabar yang mengatakan kalau di Kediri sudah ada transportasi online,
ternyata hoax belaka. Tidak ada atribut hijau maupun hitam khas Gojek, Grab
maupun Uber disini. Yang ada ramai dengan becak, angkot tua, ataupun kendaraan
berplat AG –bahkan mostly tanpa plat sama sekali. Perjalanan ke Pare dari
Kediri menempuh waktu kurang lebih 35 menit, karena kami menumpang angkot,
sesekali supir berhenti untuk mengangkut penumpang lain. Karena jalanan yang
super lancar, tidak terasa gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kampung
Inggris” perlahan mulai terlihat. Semua antusias melihat keluar jendela,
membunuh rasa penasaran seperti apa bentuk Pare yang begitu terkenal itu. Apa
yang pikir soal Pare ternyata berbeda dengan kenyataannya, hampir mirip dengan
apa yang saya alami saat pertama kali tiba di Jatinangor dulu. Jalanan yang
ramai, sesekali dilewati bus besar ataupun truk. Di pinggir jalan berdiri
banyak lembaga kursus yang mostly menawarkan English course. Karena saat itu
kami tiba disini di hari dimana kebanyakan kelas untuk periode baru dimulai,
banyak lembaga kursus itu dipenuhi orang. Juga sepeda-sepeda yang dikendarai
anak-anak muda menguasai jalanan. Sebuah impresi pertama yang berkesan.
Enabling Environment
Dengan
bawaan carrier yang cukup besar, pak supir kemudian menurunkan saya tepat
didepan sebuah bangunan sederhana: my next basecamp for the next couple months.
Disini saya mendaftarkan diri, dan ternyata ada placement test yang harus saya
ikuti sebelum mendaftar kelas ini. Padahal baru saja tiba disini, dengan
sedikit kantuk karena terus menerus gagal tidur semalaman di Kereta, saya harus
menyelesaikan soal Reading dan Writing IELTS yang menjemukkan itu. Untungnya selesai
tes, Alhamdulillah hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Kemudian saat menyelesaikan
proses registrasi, ternyata kelasnya baru akan dimulai 3 hari lagi, dengan
jadwal yang cukup ketat yang dimulai dari pagi hari, lalu terbayang bagaimana
nasib saya yang terbiasa bangun siang ini.
Disini saya
bertemu teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. One thing that I’d
realized: I just arrived in a place where I called ‘enabling environment’.
Orang dengan visi, curiosity dan semangat yang sama. Selain itu sangat mudah
menemukan masjid disini. Cukup beberapa langkah dari camp. Masjid yang selalu
ramai di waktu subuhnya. Oh iya, selama disini jam biologis saya sedikit
bergeser. Karena waktu makan dan shalat yang lebih cepat dari sebelumnya. Pukul
17.38 sudah adzan maghrib. Dan satu lagi yang saya notice adalah, disini harga
makanan dan minuman nya super murah! Saya tidak bohong. Jika dibandingkan
dengan Jakarta, perbedaan harga hampir 50 %! Saya kaget saat makan di warteg
depan camp, dengan lauk pauk yang hampir sempurna saya cuma membayar kurang
dari 10 ribu. Es teh 2 ribu perak, men. Masya Allah, sebuah nikmat yang tak
terhingga.
Then, here is my next
journey. I don’t know what will be happen for the next days, and I don’t
expecting too much. Satu hal yang saya percaya, Allah menempatkan seseorang
disuatu kondisi dan tempat dengan maksud dan tujuan. Cukup berprasangka baik
dan berikan usaha terbaik kita. Now, I'm in a mission, mission that i called, Languange Mission. And then, another journey is waiting!
Break a leg for your Language Mission..💪
BalasHapus