Stories at Mount Gede
Kali ini mau cerita sedikit soal perjalanan yang
sebenarnya sudah dari dulu saya dambakan: nanjak ke Gunung Gede. Bagi sebagian
orang yang tinggal di Jabodetabek mungkin sudah cukup familiar dengan gunung
yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi
ini. Gunung yang sempat juga disebut dalam novel 5 cm yang juga terkenal dengan cerita mistisnya. Dan alhamdulillah, dipenghujung tahun diakhir Desember 2017 kemarin, misi pendakian ini tercapai sekaligus menjadi cerita
pembuka catatan di tahun 2018.
Ada tiga jalur pendakian menuju Gunung
Gede, yaitu Cibodas, Gunung Putri, dan Selabintana. Karena tim pendakian kali
ini (yang menyebut dirinya “Tim Micin”) kebanyakan sudah pernah mendaki
sebelumnya, jadilah kami memilih jalur pendakian Gunung Putri, yang katanya
cocok baik untuk pemula atau yang udah senior. Setelah semalaman berada di bus
ekonomi jurusan Jakarta-Cianjur –yang ngetemnya luar biasa lama, kami tiba di desa
(saya lupa namanya) tempat starting point kami di Jalur Gunung Putri. Dari
sini, suhu udaranya sudah lumayan dingin, dan membutuhkan beberapa lapis baju
untuk bisa beristirahat.
Jalur Gunung Putri |
Sabtu,
30 Desember 2017
Selesai shalat subuh, repacking carrier dan sarapan nasi teri dan teh manis hangat, kami pagi
itu memulai perjalanan dengan perasaan excited.
Selepas dari rumah warga tempat kami beristirahat, kami langsung disuguhkan
dengan tanjakan beraspal menuju pos awal yang akan menjadi tempat kami melapor.
Perasaan gembira dan deg-degan menemani perjalanan melewati beberapa perkebunan
warga yang banyak ditanami sayur-sayuran. Petak-petak sawah yang bertingkat-tingkat mengundang decak kagum siapa saja yang melihatnya. Langit saat itu sangat mendukung,
dari atas sini sudah terlihat rumah-rumah jauh dibawah sana, juga
gunung-gunung lain yang mengapit kota Bogor terlihat berdiri dengan gagahnya.
Sekitar pukul 07.30 kami memulai trecking
dari pos pertama, setelah mendapatkan beberapa pengarahan dari aa-aa yang
menjaga pos. Menurut salah satu teman yang pernah mendaki disini, durasi normal
adalah sekitar 7-8 jam hingga sampai di Alun-Alun Surya Kencana, melting point
pendaki yang bisa digunakan untuk nge-camp. But, the reality was too far from
expectation. Rombongan awal tiba di Surken menjelang maghrib atau sekitar jam 6
sore, which is 10jam lebih! Hahaha.
Diperjalanan menuju Surken ini, ada
beberapa pos pemberhentian yang bisa digunakan untuk beristirahat, atau mungkin
mencoba beberapa kudapan (gorengan seperti tempe, tahu, pisang) dengan mudah
ditemukan dibeberapa pos. Gorengannya pun masih hangat, karena baru saja digoreng
oleh si mamang, walaupun dalam beberapa detik akan segera dingin kembali.
Kenikmatan gorengan ini tidak ada duanya, apalagi digunung seperti ini.
Terkadang, saat berhenti di beberapa pos, kami tertidur secara tidak sengaja,
karena malam sebelumnya memang belum tidur. Mungkin ini juga menjadi salah satu
penyebab kami sangat lama mencapai Surken.
The view after pos 1 (1) |
The view after pos 1 (2) |
Oh ya, ada satu cerita saat kami istirahat di
Pos 3 atau 4 (saya lupa), dimana ada dua anak kecil yang menjual popmie dan
kopi seduh. Bagi saya dengan trek yang tergolong lumayan, kedua anak ini
luarbiasa tangguh jika harus menempuh trek ini setiap hari, demi mencari
pundi-pundi rupiah. Dari perawakannya, anak seusia mereka mungkin berada dikelas
3-4 SD. Perjuangan mereka demi membantu ekonomi keluarganya cukup membuat malu
diri ini. Semoga adik-adik ini selalu diberikan rezeki yang melimpah oleh sang
Maha Pemberi Rizky, aamin.
The brave boys |
Tiba di Surken, suguhan pemandangan
luarbiasa membuat rasa capek hilang sementara. Hamparan padang edelweiss membuat
hati takjub. Beberapa kabut mulai menutupi pandangan saat kami berjalan di
Surken mencari spot yang pas untuk mendirikan tenda. Langit mulai gelap, beberapa
dari kami yang tiba lebih dulu mulai mendirikan tenda dan memasak beberapa persediaan
makanan. Suhu di ketinggian 2750 mdpl tak
perlu ditanyakan lagi dinginnya. Sudah berlapis-lapis baju dan jaket tetap saja
udaranya terasa menusuk sampai ketulang-tulang. Kalau sudah begini, baru
menyesal kenapa tidak membawa sleeping bag dan cuma bawa sarung ☹
Malam itu, kami menghabiskan malam dengan bercerita,
tentang kemicinan, tentang kehidupan ditemani lampu listrik dan beberapa menu
masakan yang kami buat malam itu.
Surya Kencana Yang Berkabut |
Surya Kencana (2) |
Minggu,
31 Desember 2018
Cuaca super ekstrim semalam membuat
kesulitan untuk tidur, dan niat untuk berwudhu diwaktu subuh akhirnya tertunda
sampai sekitar jam 6. Pagi itu Surya Kencana diselimuti kabut, tidak ada pertunjukan
sunrise. Setelah sarapan dan senam ala-ala, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak,
yang bisa ditempuh kurang lebih 1 jam dari Surken.
Surken Yang Cerah |
Sesuai ekspektasi, tidak sampai satu jam
kami tiba di puncak, alhamdulillah. Dari sini terlihat kawah yang mengingatkan
saya dengan puncak gunung ciremai. Bau belerang dan kabut yang berada
disekitar puncak tidak menghalangi pendaki untuk foto-foto dan selfie. Ada
cukup banyak pendaki saat itu, yang memilih menghabiskan harinya dipenghujung
tahun disini. Kami mulai menyeduh kopi, dan menyantap jelly yang kami bawa. Akhirnya,
kesampaian juga. Dalam hati bergumam, “Ya Allah, begitu indah ciptaanmu, dan
begitu kecil dan lemahnya kami manusia. Terima kasih ya Allah menyempatkanku untuk
hadir disini” 😊
Puas berfoto-foto, kami kemudian turun dan
kembali ke Surken, istirahat dan makan siang. Sorenya, kami memulai perjalanan
turun sekitar menjelang maghrib. Ada beberapa cerita mistis yang kami alami
selama perjalanan turun, berhubung kami jalan di jam-jam yang tidak baik
(maghrib). Mungkin jika sempat akan kuceritakan kisah horror ini, haha.
Terimakasih tim micin, it was a great journey
😊
The Micins |
Komentar
Posting Komentar