Ramadhan yang Berbeda
Ramadhan tahun ini baru saja selesai. Tidak terasa, sungguh benar
perkataan bahwa Ramadhan ini hanyalah sebentar, seperti lewat begitu saja.
Bulan Ramadhan tahun ini agak berbeda dari biasanya, walaupun memang setiap
tahun pasti ada saja suasana dan hal yang baru yang membuat Ramadhan setiap
tahunnya punya cerita dan hikmah masing-masing. Saya rasa hampir semua kita
juga punya cerita dan perasaan masing-masing tentang Ramadhan. Tentang rasa
rindu, tentang rindu akan suasana rumah, masakan ibu dan momen sahur bersama
keluarga. Rasanya ingin Ramadhan ini terjadi setiap bulan sepanjang tahun.
Sebenarnya ini adalah tahun ke – 7 saya menjalankan Ramadhan jauh
dari rumah dan keluarga. Jadi sudah agak lebih berpengalaman dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Sudah agak terbiasa meskipun tetap saja rasa kangen itu
terkadang muncul saat sendirian menyantap sahur dengan lauk ala kadarnya di kamar kosan. Tahun
ini masih harus bersabar menjalankan awal-awal Ramadhan ini di Jakarta, dengan
rutinitas kerjaan seperti biasanya, meskipun dengan jam kantor yang bergeser
lebih cepat datang dan juga pulangnya. Sore Jakarta yang selalu ramai menjelang
waktu berbuka, dengan pemandangan pedagang-pedagang takjil di pinggir jalan
menawarkan berbagai jenis takjil favorit: kolak, biji salak, risoles, lontong
atau gorengan. Masjid-masjid yang selalu ramai dengan berbagai macam kegiatan,
buka bersama, kajian ilmiah dan tarawih di malam harinya.
Perbedaan Terbesar
Perbedaan paling besar di Ramadhan tahun ini bagi saya adalah
perubahan signifikan di kampung halaman. Kesempatan untuk mudik, menghabiskan
sisa akhir Ramadhan dan merayakan Iedul Fitri bersama keluarga adalah sebuah
nikmat yang sangat besar, terlebih melihat harga tiket pesawat akhir-akhir ini
yang melonjak tajam. Sebuah nikmat yang sangat pantas untuk disyukuri. Tahun
ini meskipun judulnya adalah pulang, namun saya sadar saya bukan lagi pulang ke
‘rumah’ yang dulu biasa menjadi tempat saya bermain tumbuh besar. Padahal jika
diingat, tahun lalu saya masih sempat merasakan hangatnya sahur bersama
keluarga di rumah yang kini telah menjadi puing-puing bersama dengan
bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Kini puing-puing itu sudah mulai
dibersihkan, tersisa hanya beberapa reruntuhan tembok dan lantai yang menjadi
saksi dahsyatnya bencana Tsunami di tempat ini.
Beberapa bangunan gudang di kawasan ini sudah mulai dibangun
bahkan mulai beroperasi kembali. Hunian sementara (Huntara) yang dibangun
dibeberapa titik kota Palu dan sekitarnya masih penuh dengan warga warga
pengungsi korban bencana, kurang lebih masih ada 40 ribuan warga masyarakat
penghuni huntara yang harus bersabar berlebaran di tenda-tenda ataupun bangunan
sementara. Benar-benar berbeda dari tahun sebelumnya, ketika masjid dekat rumah
tempat kami biasa bersilaturahmi dengan tetangga dan kerabat juga ikut hancur
diterjang ombak. Teman-teman yang dulu biasa bersama kini sudah pindah dan
mengungsi ke tempat mereka masing-masing. That’s life, there always a change,
where people come and go.
Ramadhan yang berbeda - Rumah |
Tapi saya percaya, semua hal yang terjadi itu sudah digariskan oleh yang maha mengetahui hal yang gaib. Kita jangan sok tau dengan bersikap sedih atau galau. Yang terbaik itu pilihan Allah. Bisa jadi yang kita sukai belum tentu baik buat kita dan juga sebaliknya, bisa jadi yang kita tidak sukai itu justru baik buat kita. Allah yang lebih tau, dan pasti selalu ada hikmah dibalik kejadian. Seperti tercantum dalam surat Ali Imran, ayat 191 :
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka
Ied Fitr in Bantaeng!
One last thing yang membuat Ramadhan ini berbeda adalah pertama
kalinya saya berlebaran di kampung Ayah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Jarak tempuh dari kota Palu ke Bantaeng adalah sekitar 24 jam via darat!
Bayangkan bagaimana gempornya perjalanan saya dan keluarga kali ini.
Alhamdulillah pertama kalinya saya melintasi Sulawesi Barat (Mamuju, Majene,
Mandar) dan beberapa kabupaten Sulawesi Selatan seperti Pare – Pare menjadi
pengalaman baru lagi saya. Meskipun agak kapok lewat darat karena rasanya
perjalanan begitu panjangnya. Untungnya Lelah itu hilang ketika bertemu dengan
keluarga besar ayah disini, sepupu-sepupu yang ternyata banyaaaaaaaaaaaaak
sekali hehehe. Saya sendiri lupa berapa banyak rumah yang kami sambangi ketika
hari raya Ied dan berapa banyak daging kuda yang saya habiskan bersama buras
khas orang bugis Makassar. Rasanya ingin berlama-lama disini, menghirup udara
pagi desa yang bersih dengan pemandangan sawah memanjakan mata. Semoga
silaturahmi seperti ini bisa terus terjadi setiap saat. Insha Allah. Semoga
nanti ketika next tour ke Bantaeng bisa bawa keluarga sendiri ya yi, hahaha
AAAMIIN!
Senja di Bantaeng |
View sebuah masjid dalam perjalanan |
Alhamdulillah Allah masih berikan kita kesempatan untuk bertemu
dan beribadah di bulan penuh berkah ini, semoga kita berhasil menjadi a better
version of ourself dan mampu menjaga momentum di bulan Syawal ini dengan terus
berusaha istiqomah beribadah. Semoga Allah mempertemukan kita di bulan Ramadhan
tahun depan dengan kondisi jauh lebih baik. Aaamin allahumma aamiin.
Komentar
Posting Komentar