Menuju Sorbonne
Di bulan September ini, tahun akademik dimulai kembali, seperti biasa setelah summer vacation selesai, biasanya kalender akademik disini dimulai lagi di bulan September sampai Februari. Sebenarnya hampir mirip juga dengan kalender perkuliahan waktu S1 dulu, dan jadi teringat masa-masa orientasi dan ospekan dulu waktu jadi maba– hanya saja sistem ospek tidak saya dapatkan lagi disini. Alhamdulillah, tiba di Paris beberapa pekan yang lalu, saya harus mengurus administrasi dan pindahan ke akomodasi baru sambil juga mempersiapkan kelas yang sudah dimulai. Misalnya, kelas French Introduction sudah dimulai sejak akhir Agustus kemarin, dan beberapa courses mandatory juga start di bulan ini. Masih agak awkward memang, terlebih setelah beberapa lama terbiasa dengan kuliah online. Kembali ke kelas, bertemu kolega dan bertatap muka langsung dengan dosen adalah hal yang baru lagi, it is not an easy transition, with all of the post-covid syndrome and its related-anxiousness.
Karena di semester 3 ini partner university nya ada tiga, jadinya kelasnya juga pindah-pindah dan jaraknya tidak berdekatan. Memang salah satu tantangan tersendiri buat yang ambil program Joint Degree adalah harus siap untuk pindah-pindah kampus dan terus beradaptasi. Seperti yang pernah saya tulis juga disini, di semester 3 ini, kami berkesempatan untuk belajar di tiga public universities di Perancis: Université de Technologie de Compiègne (UTC), Université de Paris, dan Sorbonne Université. Kalau yang pernah nonton film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi mungkin sudah familiar dengan nama kampus ketiga ini, Sorbonne University, kampus impian Arai di film itu. Dan ketiga kampus ini punya gedung, dan sistem administrasinya masing-masing, dan tentunya lokasi yang tersebar di tempat yang berbeda pula. Jadinya seru juga harus pindah-pindah lokasi belajar setiap hari, misalnya pagi ada kelas di Sorbonne Clignancourt di bagian utara Paris, kemudian siangnya harus naik Metro dan transit beberapa kali untuk pindah kelas ke kampus UTC di pusat kota. Untugnya fasilitas transportasi publik di kota ini cukup lengkap dan mudah, mulai dari suburban train atau RER, Métro (subways), Tram, dan Bus –meskipun akhirnya sering naik sepeda selain karena alasan biar lebih sehat, juga jauh lebih murah hehe.
Salah satu gedung Sorbonne University yang tertua |
Biaya hidup di Paris memang terkenal mahal. Untuk akomodasi, alhamdulillah saya mendapatkan ‘jatah’ untuk tinggal di salah satu asrama mahasiswa yang berlokasi di area 14th Arrondissement, di perbatasan selatan kota Paris. Dengan harga sewa yang cukup affordable, jika dibandingkan dengan standar sewa apartemen di Paris tentunya hehe. Meskipun memang agak mahal jika dibandingkan dengan akomodasi di Turin tahun kemarin, kelebihan disini adalah fasilitasnya cukup lengkap, mulai dari aktifitas olahraga yang super lengkap (gymnase, lapangan tenis, lapangan futsal, football, rugby, dll), restaurant, cafeteria, library, sampai representative office buat ngurusin visa juga ada di kompleks asrama ini. Hanya saja, satu hal krusial yang menurut saya tidak ada disini adalah tempat ibadah, mungkin memang karena kuatnya ideologi sekularisme yang diterapkan di sini.
CIUP - Pusat asrama mahasiswa dan peneliti di Paris |
Untungnya kalau mau ke masjid tidak begitu jauh, cukup sepedaan sekitar 10 menit atau 3 km ada masjid Montrouge di sebelah selatan yang bisa dijangkau, atau bisa juga ke Grand Mosque Paris walaupun agak sedikit lebih jauh.
Grand Mosque de Paris - buka setiap hari |
Melihat benang merah
Balik lagi ke soal mimpi Arai ke Sorbonne University, dulu waktu menonton film ini, tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk punya mimpi yang sama seperti Arai, sebagai anak daerah, boro-boro kuliah ke luar negeri, diterima kampus di dalam negeri saja sudah sangat bersyukur. Terkadang, ketika duduk bersama teman-teman yang lain di salah satu ruangan kampus ini, ada perasaan tidak percaya, still hard to believe that I made myself until here. Duduk belajar di salah satu kampus tertua di dunia, merasakan pendidikan yang berkualitas, dan lingkungan yang mendukung adalah privilese yang harus disyukuri sekaligus tanggung jawab untuk memberikan manfaat ke lebih banyak orang lain. Terutama untuk teman-teman di daerah, yang belum mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, saya doakan semoga Allah mudahkan untuk merasakan pengalaman ini dan mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas baik di dalam atau luar negeri. Jika teman-teman ingin dibantu terkait melanjutkan sekolah lagi, feel free untuk kontak saya, insyAllah akan saya bantu sebisanya.
Lanjut cerita, when I reflect back at that time, ada satu momen yang bisa dikatakan salah satu tipping point, yang membawa saya paling tidak berani bermimpi lebih besar, yang kemudian membawa saya mencoba dan memberanikan diri untuk kuliah diluar kota Palu pada saat itu –cerita merantau yang saya pernah share juga di podcast beberapa waktu yang lalu. Titik dimana saya melihat dunia dengan perspektif berbeda, belajar ilmu - ilmu baru tentang personal growth, mindset shifting–that kind of things yang pada akhirnya memaksa saya untuk overcoming the resistance dan keluar dari zona nyaman. Dengan izin Allah tentunya, saya bertemu salah satu teman di STM dulu, yang kemudian ‘meracuni’ saya dengan ilmu-ilmu pengembangan diri yang akhirnya membawa saya belajar hal-hal baru dan berani berpikir besar. I would like to thank my friend, jazakAllahu khayran. Mungkin mirip dengan Ikal di film tersebut yang selalu di-cekoki Arai untuk berani bermimpi besar.
Terakhir, saya jadi teringat buku yang ditulis oleh Angela Lee Duckworth tentang GRIT, it was very resonate to me when I reflect back on my own journey. Bahwa yang membawa seseorang sampai ke titik yang sekarang bukan semata-mata karena kemampuan intelektualnya semata (meskipun di dunia nyata memang ini sangat dibutuhkan), melainkan (setelah pertolongan Allah tentunya), adalah apa yg disebut mba Duckworth sebagai kombinasi antara passion and perseverance, yang membuat seseorang bertahan jangka panjang. Kemampuan seseorang dalam bertahan, dan percaya bahwa skill dan kemampuan itu bisa dipelajari dan dikembangkan. Semoga kita diberikan kemudahan untuk bisa memiliki sikap ini dalam hidup, dan memanfaatkannya dalam tantangan-tantangan hidup yang semakin kompleks.
Komentar
Posting Komentar