Martabak Economics
Setelah kemarin sharing soal konsep ekonomi solidaritas yang diajarkan di salah satu kelas di semester ini, kali ini akan ganti topik dengan satu konsep yang lagi hype dibahas di kelas dan seminar-seminar disini. Sebuah framework yang cukup berhasil dibuat mind blowing ketika membacanya pertama kali. Bahkan, topik ini dijadikan salah satu major di program master ini, yaitu jurusan yang fokus membahas ecological transition alias interseksi antara ekonomi dan lingkungan. Let’s start!
Jadi framework itu bernama Doughnout Economics alias ekonomi donat yang dikenalkan oleh seorang Ekonom dari Inggris, Kate Raworth. Bahkan bukunya mungkin menjadi salah satu rekomendasi teratas bagi ekonom saat ini yang wajib dibaca. Framework ini menawarkan sebuah model ekonomi yang selaras dengan limitasi ekologi dan sosial. Artinya, ekonomi bukan hanya berfokus pada growth yang cenderung destruktif, melainkan ekonomi yang dijalankan dengan memperhatikan hal-hal fundamental lain seperti social foundation dan tanpa keluar dari batasan ‘ecological ceiling’ (seperti digambar). Tentunya konsep ini bertentangan dengan konsep ekonomi klasik yang dari dulu diajarkan kepada para mahasiswa di fakultas ekonomi, sehingga banyak pro kontra dengan konsep ekonomi donat ini. Beberapa pendukung pun mulai mengeluarkan studi empirisnya seperti gerakan Degrowth yang digembor-gemborkan oleh Jason Hickel misalnya. Mereka menilai ekonomi yang berkiblat kepada GDP tidaklah sustainable karena terlalu mengandalkan model ekonomi yang ekstraktif seperti tambang batubara yang memperparah krisis iklim. Untuku lebih detailnya bisa nonton diskusi mereka tentang Degrowth atau Green Growth disini yang juga dimoderatori oleh Kate Raworth sendiri hehe.
Source: The Doughnut of social and planetary boundaries (2017) |
Di Indonesia, kak Afutami juga pernah mebahas konsep ini tapi dengan analogi martabak, alias Indonesian pancake. Layer-layer martabak dianalogikan seperti level-level yang punyak batasan masing-masing yang perlu dijaga. For me it's very clever yet simple sehingga cocok bagi yang ingin memahami konsep ini tanpa harus duduk di kelas lagi hehe (videonya bisa di nonton disini). Bagi saya, yang juga sedang dicecoki framework sejenis di kelas-kelas disini, rasanya begitu relate dengan keadaan di negara berkembang seperti Indonesia yang merasakan dampak signifikan dari krisis iklim, seperti banjir yang semakin sering, kekeringan, dan perumahan di pesisir yang kini terancam tenggelam. Sudah tentu model-model ekonomi baru yang “ramah lingkungan” harus di-support penuh, dan melibatkan masyarakat lokal (baik dalam dialog ataupun implementasinya) agar solusi inovatifnya bisa berjalan dengan sustain.
Komentar
Posting Komentar