Hedonic Treadmill dan Definisi Cukup
Pernah terbesit satu pertanyaan random, bahwa mungkin saja, penyebab paling signifikan dari masalah yang dihadapi umat manusia saat ini, adalah salah satu sifat alamiah yang tertanam dalam diri manusia itu sendiri : tamak alias greedy.
Sebutkan
mayoritas problem yang kita hadapi saat ini: climate crisis, war, mismanaged
waste dan lain-lain, jika di-breakdown akar masalahnya lebih jauh, adalah
problem dasar kita sebagai manusia yang tidak pernah puas, dan selalu ingin lebih.
Manusia modern terutama yang tinggal di perkotaan dengan akses yang begitu mudahnya,
sangat rentan terjebak dengan hedonic treadmill, istilah psikologi dimana level
kebahagiaannya terus berada di level stabil meskipun sudah berada di level
kesuksesan atau pencapaian tertentu.
Credit: Pexels |
Sampai kemudian
ada celetukan ide potensi solusi dari problem mendasar ini, dari salah satu idola
saya di bidang aktivisme lingkungan: bagaimana kalau ada riset yang bisa
mendefinisikan kata cukup bagi orang yang tinggal desa dan di kota, kemudian
mempertemukan definisi cukup ini sehingga sama-sama puas dengan di level kondisi
tertentu sehingga tidak lagi memiliki keinginan-keinginan yang berefek buruk bagi
lingkungan dan umat manusia. Sebuah ide yang menarik yang saya juga
penasaran untuk tahu definisi cukup orang di level socio-economic yang berbeda.
Tapi sebenarnya, jika kita melihat ini dalam perpektif
islam, kecenderungan manusia ini pernah disampaikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadist dari Ibnu Abbas :
“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)
Sehingga, memang tabiat manusia diciptakan secara default
adalah tidak merasa puas dengan hartanya dan terus ingin menerus mengejar
kemewahan sampai dia meninggalkan dunia ini. Kecuali outliers, atau orang-orang
pilihan yang dirahmati oleh Allah yang bisa merasa cukup atau qona’ah dengan yang
diberikan.
Tidak mudah memang, tapi setidaknya kita bisa berusaha untuk
merasa cukup, misalnya dengan:
·
Berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah diberikan taufiq untuk qona’ah
dengan hal yang berkaitan dengan tempat tinggal, pakaian, kendaraan, dan harta
lainnya.
·
Tidak melihat hidup sebagai suatu hal yang taken
for granted.
·
Menjauhi enemies of gratitude. Ini bisa dibaca
lebih lanjut dalam bukunya Thomas Gilovich and Lee Ross: The Wisest One in the
Room: How You Can Benefit from Social Psychology’s Most Powerful Insights.
·
Lebih banyak fokus dengan apa yang baik dalam
hidup dibanding apa yang salah dan mensyukuri hal-hal sederhana yang Allah beri
dalam hidup kita.
Semoga kita diberikan kemampuan dan taufiq untuk bisa
mendefinisikan cukup untuk diri kita dan punya nikmat qona’ah dalam hidup ini.
Aaamiin
Komentar
Posting Komentar