Lesson from Informal Waste Collectors
Setelah terakhir menulis thesis tentang issue di sektor waste management waktu sekolah kemarin, alhamdulillah diberi kesempatan untuk kembali berkontribusi di sektor ini. Kali ini mau sedikit berbagi cerita tentang salah satu project women empowerment di sektor persampahan di Indonesia. Ibu ibu yang memiliki usaha pengepul dan pemulung individu yang mengumpulkan barang bekas adalah target peserta di program ini. Karena selama ini hanya sekedar meneliti tanpa turun langsung melihat kondisi bisnisnya, kesempatan ini membawa banyak pelajaran bagi saya.
Sebelumnya, salah satu finding yang dari thesis saya tentang waste sector di Indonesia, adalah peran informal waste collectors seperti pemulung dan scrap dealers ini yang begitu signifikan. Kontribusi recycling rate dari mereka jauh lebih besar dari formal system (bisa baca reportnya National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia disini), tapi sayangnya mereka masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Karena keberadaan mereka yang informal, membuat pelaku usaha di sektor persampahan ini tidak mendapatkan pengakuan dan kondisi kerja yang layak, dan perlindungan sosial seperti pekerja formal pada umumnya.
Pengumpul sampah dengan truk |
Di program inilah saya akhirnya pertama kali berkunjung ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau landfill nya kota Semarang, yaitu di daerah Jatibarang untuk bertemu salah satu pengepul yang lapaknya sangat dekat dengan TPA. Padahal sebelumnya bahkan di kota Palu saya belum pernah ke TPA nya di Kawatuna hehe. Awalnya memang tidak terbiasa dan bahkan sampai pakai masker berlipat-lipat pun tetap juga tembus ke hidung. Namun berada disini “membuka mata” saya tentang banyak hal. Bukan hanya soal banyaknya timbunan sampah, tapi tentang bagaimana surviving skill seorang manusia untuk bertahan hidup terasah dengan lingkungannya.
Beberapa hari di Semarang dan berkunjung ke lapak-lapak ibu-ibu pengepul ini membuat saya menyadari beberapa hal. Pertama, bahwa jangan cepat-cepat berasumsi dan menilai seseorang dari penampilannya. Terdengar klise memang. Misalnya mungkin banyak orang melihat bisnis loakan atau pengepul barang bekas ini dengan sebelah mata, tapi setelah mengetahui cashflow dan perputaran uang di bisnis ini persepsi bisnis receh itu mungkin akan berubah. Banyak potensi atau hidden potential di sektor ini yang bisa manfaatkan untuk bisa mencapai ekonomi sirkuler yang lebih besar, jika sektor informal ini diberikan kesempatan dan akses yang sama. Hanya butuh tweak dan pemahaman tentang literasi keuangan, potensi mereka bisa dimaksimalkan. Kedua, saya menyadari bahwa banyak problem di negeri ini yang tidak bisa diselesaikan sendirian, dan butuh kolaborasi multi pihak, termasuk soal waste management ini. Complex problem yang punya banyak pemain hulu ke hilir dan masing-masing memiliki interest yang ingin dicapai.
Pemandangan sampah yang belum dipilah |
Ketiga, saya belajar tentang syukur, dan perjuangan hidup, misalnya dari salah satu peserta informal waste workers yang setiap hari berjalan puluhan kilometer untuk mencari dan mengumpulkan barang bekas. Perlakuan yang tidak mengenakan, dan stigma negatif dari masyarakat sudah menjadi “makanan” sehari-hari. Diri ini belum tentu bisa sekuat mereka. Salut, hats off buat semua ibu-ibu (dan bapak-bapak) pejuang, pahlawan sektor persampahan di Indonesia. Semoga selalu diberikan kesehatan, dan rejeki yang berlimpah. Aamiin.
Pemilah sampah di usaha loakan |
Komentar
Posting Komentar